Selasa, 29 Juli 2008

Diknas ko’ ga’ berpendidikan????

Pengumuman!!! Tahun 2008 APBN Negara kita telang kehilangan uang sebesar 20 Milliar rupiah. Uang yang telah dianggarkan untuk program buku elektronik yang diselenggarakan Depdiknas telah terbuang percuma.

Bagaimana ini bisa terjadi? Berawal dari ide “cerdas” Depdiknas untuk menyelenggarakan program buku sekolah murah bagi seluruh pelajar SD – SMA/MA. Untuk lebih memantapkan lagi ide cerdas tersebut Mendiknas Bambang Sudibyo membuat suatu peraturan yang isinya antara lain pemerintah pusat dan daerah dapat membeli hak cipta buku dari pemiliknya. Buku-buku yang sudah dibeli hak ciptanya akan di-upload ke situs depdiknas dan dapat diunduh (download) oleh semua orang. Untuk menyelenggarakan program hebat ini Depdiknas menganggarkan dana 20 Miliar Rupiah. (Dana yang teramat besar!!)

Namun saying, ide cerdas ini harus berubah menjadi ide konyol. Program yang seharusnya dapat membantu rakyat miskin memperoleh buku ini justru malah semakin memelaratkan mereka. Kenapa bisa? Ide untuk menjadikan internet sebagai perantara program ini memang bisa dikatakan sangat brilian. Depdiknas mencoba untuk menyesuaikan diri dengan melihat tren teknologi yang sedang marak di masyarakat sekarang ini. Namun sekali lagi saya katakan bahwa ide ini benar-benar konyol !!. internet memang sedang menjadi tren teknologi tapi belum seluruh kawasan di Indonesia tersentuh internet. Jangankan internet, dari seluruh kawasan di Indonesia yang baru tersentuh oleh jaringan listrik saja baru 40 % (Media Indonesia, 27 Juli 2008). Belum lagi tingkat melek internet di kalangan guru masih sangat rendah, yaitu 10-15% (Media Indonesia, 27 Juli 2008).

Mekanisme pemanfaatan buku murah ini pun tidak bisa dikatakan mudah. Untuk memanfaatkan program ini seorang pelajar harus memiliki akses internet – dan tentunya – komputer. Untuk beberapa daerah mungkin dapat tertolong dengan keberadaan warnet. Setelah situs depdiknas terbuka, buku dapat diunduh. Namun, dengan kecepatan rata-rata internet di Indonesia, untuk mengunduh satu judul buku membutuhkan waktu 5-15 menit. Untuk satu tingkatan pendidikan –misalnya kelas 5 SD- memerlukan 5-10 judul buku. (durasi yang dibutuhkan untuk mengunduh judul buku yang dibutuhkan dengan ongkos sewa internet Rp. 3000/jam)

Setelah diunduh, buku belum dapat langsung dimanfaatkan karena masih berupa file komputer sehingga buku perlu dicetak (print). Untuk 1 judul buku sedikitnya berjumlah 30 halaman!! Dengan kalkulasi ongkos cetak (print) yang berkisar Rp. 250-500/lembar uang yang harus dikeluarkan masih tergolong tinggi.

Ketika ditanya tanggapan mengenai program yang terkesan amburadul ini, dengan polosnya Mendiknas berkata “Wajar saja, baru pertama kali kita lakukan”. Tanggapan yang benar-benar tidak berpendidikan. Serta seolah-olah dia tidak ingin bertanggung jawab atas kesemrawutan serta kebingungan masyarakat. (maklum, lidah tak bertulang!!).

Lagi-lagi pemerintah SBY harus siap menuai kecaman dari masyarakat. Presiden kita yang terkenal peragu ini lag-lagi harus kecolongan. Uang 20 miliar rupiah telah terbuang percuma. Sangat disayangkan karena kita yang sedang sakarotul maut ini sebenarnya sangat membutuhkan uang!!!!!

Satu hal yang saya ragukan dari Mendiknas kita tercinta, kenapa dia bisa yakin bahwa program ini akan berjalan lancar??? Padahal dari data yang ada, kemungkinan program ini berjalan lancar sangatlah kecil. Sepertinya KPK harus kembali disibukkan dengan mengaudit dana program ini. Siapa tahu ada unsur korupsi hehehe……

Dunia Politik Bukan Panggung Sandiwara

Menjelang pemilu 2009 masing-masing parpol sedang sibuk mempersiapkan nama-nama yang akan diusung untuk menjadi kader ataupun caleg di dewan legislatif nanti. Nama-nama yang muncul pun ternyata bervariasi, dari yang sudah mendapat kredibilitas tinggi sebagai politikus tulen sampai “anak-anak baru” yang sedang coba-coba merambah dunia politik Indonesia. Di dalam sederetan nama “anak-anak baru” tersebut terdapat nama-nama artis (selebritas) yang sudah kita kenal.

Nama-nama tersebut pun sudah dipertandingkan bahkan mendulang kesuksesan di dua pilkada – Dede Yusuf dan Rano Karno-. Kesuksesan mereka berdua sepertinya telah menjadi kiblat bagi artis lain untuk terjun ke dunia politik tanah air. Syaiful Jamil pun kini sedang bersiap-siap untuk memperebutkan kursi kepemimpinan.

Apa sebenarnya yang melatarbelakangi mereka untuk terjun ke dunia politik? Menurut pengamat politik Universitas Indonesia Arbi Sanit, masuknya para artis ke dunia politik merupakan upaya untuk melanjutkan mobilitas social. Artis yang masuk partai politik sebagian besar adalah mereka yang sudah mencapai puncak popularitas dan ingin melanjutkan mobilitas social mereka setelah masa keemasan berakhir.

Namun, menurut seorang mahasiswa Universitas Padjadjaran Bobry Primasyhrizal Khaerudin fenomena seperti ini merupakan side effect dari demokrasi amburadul yang dipadu dengan gaya hidup artis yang selalu inginkan popularitas. Bukan bermaksud merendahkan, namun kondisi Negara kita yang sedang carut marut ini membutuhkan sosok pemimpin yang berkompeten dalam kepemimpinan bukan populer. Kepopuleran Syaiful Jamil dalam dunia dangdut tanah air –terutama setelah kasus perceraian dengan penyanyi dangdut “terpanas” Dewi Perssik- tidak menjamin kompetensi dia dalam memimpin.

Demokrasi amburadul ala Indonesia seringkali didefinisikan sebagai dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat memegang peran kunci dalam kegiatan berpolitik. Suara rakyat merupakan modal utama dalam setiap pemilihan kepala daerah ataupun kepala Negara. Siapa saja yang mendapat suara terbanyak maka dialah yang menang.

Rupanya di kehidupan serba modern ini hukum rimba masih berlaku. Kalimat terakir pada paragraph diatas senada dengan pernyataan siapa kuat dialah yang menang (ideology hukum rimba). Sungguh ironis memang. Di lain sisi masyarakat Indonesia sedang menuju ke arah modernitas dan madani namun di sisi lain jiwa mereka tidak ubah seperti jiwa binatang (kebanyakan jiwa ini melekat erat di dalam diri poilitikus).

Siapa kuat dialah yang menang. Inilah ideology hukum rimba yang dianut oleh sebagian parpol di Indonesia. Dan untuk menunjukkan kekuatannya –dengan perolehan suara terbanyak- masing-masing parpol harus merelakan kursi-kursi kader mereka untuk para artis yang popularitasnya menurun. Kursi yang mestinya menjadi landasan negeri untuk bangkit malah dijadikan ajang mainan. Kursi tersebut sepatutnya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar expert dalam memimpin serta memiliki visi yang jelas bukan untuk artis yang popularitasnya menurun.
Inilah pekerjaan rumah terberat bagi pemerintahan yang akan datang. Mereka harus mampu membuat rakyat ataupun pemimpin parpol benar-benar cerdas, bukan “kreatif” seperti sekarang. Sebagai ujung tombak, rakyat harus diberi bimbingan bagaimana memilih pemimpin yang baik. Kursi kepemimpinan yang kini sedang ramai diperebutkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan ataupun orang-orang yang popularitasnya menurun harus disucikan dan diserahkan kepada mereka yang mampu memegang amanah kepemimpinan. Ingat!! Untuk menjadi pemimpin memang harus populer namun tidak semua orang populer mampu menjadi pemimpin.

NB: Kira-kira kapan ya luna maya, titi kamal atau sarah azhari terjun ke dunia politik???? Hehehe….

Kamis, 17 Juli 2008

AKREDITASI JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN APAKAH ADA?

Bagaimana Kalo Lulusan JIP-FSUI Ingin Bekerja Di Luar Negeri?


Suatu hari ada seorang lulusan JIP-FSUI dengan hati yang bangga sebagai lulusan JIP-FSUI dengan predikat cum laude sedang membuka-buka website lowongan kerja, seperti layaknya seorang lulusan JIP lainnya.. Bukan main girang bukan kepalang saat ia tahu bahwa begitu banyak lowongan pustakawan di negeri orang..wahhhh...di USA, Malaysia, Singapore...Kali aja dia bisa kenal..Keanu Reeve pikirnya.....Lalu ia mengirim lowongan itu lewat email..sehari, dua hari, seminggu..kok tidak ada balasan...Alhasil dia kecewa berat...Saat ia lunglai dan berjalan gontai..dia bertemu sang Profesor tersohor Ilmu Perpustakaan Indonesia satu-satunya, yakni Bapak Profesor Sulistyo Basuki. Terjadilah percakapan layaknya antara Bapak dan Anak...karena isi percakapan itu adalah keluhan kepada sang maha guru. Percakapannya seperti ini;



Pak Sulis... kebetulan sekali saya kecewa sekali, kenapa yaa..kok email lamaran saya ditolak dan dikatakan sertifikat ijazah saya tidak memiliki akreditasi, lalu
1. Apakah akreditasi international itu?2. Bagaimana posisi pendidikan pustakawan indonesia terhadap akreditasi international, misalnya ALA.3. Apakah JIP UI misalnya memiliki tingkat akreditasi setaradengan misalnya ALA?4. Kalau belum gimana kita bisa dapat? (katakanlah saya mau apply job di US)


Pak Sulis..menjawab sambil bergaya khasnya dengan memeluk buku-buku pelajaran yang biasa dipegangnya.......


"Tidak ada akreditas internasional untuk pustakawan karena akreditasi lazimnya dilakukan oleh organisasi pustakawan di negara masing-masing. Di AS, akreditasi terhadap pendidikan pustakawan dilakukan oleh ALA, itupun baru terbatas pada program master sedangkan untuk doktor masih belum jelas. Di Indonesia kreditasi pendidikan dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN). Sebagai contoh program magister Ilmu Perpustakaan UI memperoleh akreditasi unggulan (paling tinggi). Kalau ingin melamar pekerjaan di luar Indonesia, misalnya di AS atau Inggeris, mereka umumnya mensyaratkan lulusan master (S2) yang diakreditasi oleh misalnya ALA atau Library Association.


Sambil sedikit berjalan bergegas ia yang sedang mengejar Pak Sulis semakin enggak sabar dengan mata nanar.....


Lalu , bagaimana kalau, katakanlah saya magister perpustakaan dariUI, Saya apply job di US, apakah akreditasi dari indonesia langsung dapatditerima?
Sambil tersenyum simpul dan menggaruk kepala...dengan nada agak sedih..Pak Profesor ini menjawab



Tidak selalu karena berbagai iklan yang saya baca mensyaratkanadanya gelar yang diakreditasi oleh ALA dan ini berarti pendidikan yang ada di AS. Setahu saya gelar master sejenis dari berbagai negara Asia seperti Singapura, Taiwan, India juga dipermasalahkan karena belum diakreditasi oleh ALA. Yah ini semacam "keangkuhan" negara didaya dalam bidang pendidikan.


Lulusan JIP ini semakin penasaran dan kakinya tersandung sesuatu yang tidak ia rasakan...dan tak terasa kertas ditangannya diremasnya agak geram.


Lalu gimana caranya mendapatkan akreditasi ALA ini pak Prof?kemudian, kenapa pendidikan perpustakaan indonesia nggak mencobamendapatkan akreditasi semacam ini. toh bagaimanapun kita memangharus belajar dari mereka? Sementara itu bagaimana dengan kedudukan s1 bila dibandingkan dengan di US? apakah setara dengan pekerjaan-pekerjaan D3 disini?


Pak Sulis..sambil menarik nafas dan dari raut wajahnya agak tahu bagaimana kesedihan si lulusan JIP ini...tetap tersenyum dan menjawab dengan lugas dan padat...


Tampaknya tidak mungkin pendidikan pustakawan memperoleh akreditasi dari ALA karena mereka bersifat inward looking, jadi apa yang terjadi AS itulah yang mereka anggap terjadi dunia. Kedudukan S1 si Indonesia kurang lebih setara dengan Bachelor degree di AS sehingga mahasiswa Indonesia yang ingin belajar untuk program Master di AS harus bergelar sedikit-dikitnya sarjana.[ Kalau mahasiswa Indonesia lulusan D3 maka dia harus mengambil mata kuliah lagi sehingga mencapai gelar Bachelor baru melanjutkan ke program Master.[pengecualian untuk seorang petinggi perpustakaan di Indonesia yang pernah berjaya semasa Orde Baru]. Rasanya pendidikan suatu negara dipengaruhin oleh berbagai faktor misalnya faktor ekonomi, budaya, tingkat bmelek huruf sehingga tidak ada sebuah universitas/fakultas minta akreditasi dari negara lain. Akreditasi muncul dalam bentuk pemahaman dan pengakuan antara dua lembaga, sifatnya bilateral. Contoh lulusan SMA Kanisius di jakarta kalau mau masuk UI harus ikut UMPTN padahal di beberapa universitas di negara bagian New York kemampuan siswa SMA Kanisius sudah diakui.


Ooh begitu pak prof...terima kasih atas jawabannya...


Akhirnya si lulusan JIP-FSUI inipun pulang dengan langkah gontai dan dibuangnya kertas yang diremasnya tadi...Ternyata itu adalah fotocopi ijazah Strata Satunya di JIP-FSUI...dan matanya menitikkan air mata...Bukan lantaran dia menyesal sebagai lulusan JIP-FSUI..tetapi karena kakinya ternyata berdasar karena tersandung trotoar ketika sedang berbincang dengan pak Sulis...Kasihan..udah enggak dapet kerja di LN dapet sial lagi..pikirnya.../AP/IGOEN/IP/170501/


(Percakapan ini diilustrasikan dari percakapan email antara Prof Dr. Sulistyo Basuki dan Ado di MILIST ICS)



diambil dari geocities.com