Selasa, 29 Juli 2008

Dunia Politik Bukan Panggung Sandiwara

Menjelang pemilu 2009 masing-masing parpol sedang sibuk mempersiapkan nama-nama yang akan diusung untuk menjadi kader ataupun caleg di dewan legislatif nanti. Nama-nama yang muncul pun ternyata bervariasi, dari yang sudah mendapat kredibilitas tinggi sebagai politikus tulen sampai “anak-anak baru” yang sedang coba-coba merambah dunia politik Indonesia. Di dalam sederetan nama “anak-anak baru” tersebut terdapat nama-nama artis (selebritas) yang sudah kita kenal.

Nama-nama tersebut pun sudah dipertandingkan bahkan mendulang kesuksesan di dua pilkada – Dede Yusuf dan Rano Karno-. Kesuksesan mereka berdua sepertinya telah menjadi kiblat bagi artis lain untuk terjun ke dunia politik tanah air. Syaiful Jamil pun kini sedang bersiap-siap untuk memperebutkan kursi kepemimpinan.

Apa sebenarnya yang melatarbelakangi mereka untuk terjun ke dunia politik? Menurut pengamat politik Universitas Indonesia Arbi Sanit, masuknya para artis ke dunia politik merupakan upaya untuk melanjutkan mobilitas social. Artis yang masuk partai politik sebagian besar adalah mereka yang sudah mencapai puncak popularitas dan ingin melanjutkan mobilitas social mereka setelah masa keemasan berakhir.

Namun, menurut seorang mahasiswa Universitas Padjadjaran Bobry Primasyhrizal Khaerudin fenomena seperti ini merupakan side effect dari demokrasi amburadul yang dipadu dengan gaya hidup artis yang selalu inginkan popularitas. Bukan bermaksud merendahkan, namun kondisi Negara kita yang sedang carut marut ini membutuhkan sosok pemimpin yang berkompeten dalam kepemimpinan bukan populer. Kepopuleran Syaiful Jamil dalam dunia dangdut tanah air –terutama setelah kasus perceraian dengan penyanyi dangdut “terpanas” Dewi Perssik- tidak menjamin kompetensi dia dalam memimpin.

Demokrasi amburadul ala Indonesia seringkali didefinisikan sebagai dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat memegang peran kunci dalam kegiatan berpolitik. Suara rakyat merupakan modal utama dalam setiap pemilihan kepala daerah ataupun kepala Negara. Siapa saja yang mendapat suara terbanyak maka dialah yang menang.

Rupanya di kehidupan serba modern ini hukum rimba masih berlaku. Kalimat terakir pada paragraph diatas senada dengan pernyataan siapa kuat dialah yang menang (ideology hukum rimba). Sungguh ironis memang. Di lain sisi masyarakat Indonesia sedang menuju ke arah modernitas dan madani namun di sisi lain jiwa mereka tidak ubah seperti jiwa binatang (kebanyakan jiwa ini melekat erat di dalam diri poilitikus).

Siapa kuat dialah yang menang. Inilah ideology hukum rimba yang dianut oleh sebagian parpol di Indonesia. Dan untuk menunjukkan kekuatannya –dengan perolehan suara terbanyak- masing-masing parpol harus merelakan kursi-kursi kader mereka untuk para artis yang popularitasnya menurun. Kursi yang mestinya menjadi landasan negeri untuk bangkit malah dijadikan ajang mainan. Kursi tersebut sepatutnya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar expert dalam memimpin serta memiliki visi yang jelas bukan untuk artis yang popularitasnya menurun.
Inilah pekerjaan rumah terberat bagi pemerintahan yang akan datang. Mereka harus mampu membuat rakyat ataupun pemimpin parpol benar-benar cerdas, bukan “kreatif” seperti sekarang. Sebagai ujung tombak, rakyat harus diberi bimbingan bagaimana memilih pemimpin yang baik. Kursi kepemimpinan yang kini sedang ramai diperebutkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan ataupun orang-orang yang popularitasnya menurun harus disucikan dan diserahkan kepada mereka yang mampu memegang amanah kepemimpinan. Ingat!! Untuk menjadi pemimpin memang harus populer namun tidak semua orang populer mampu menjadi pemimpin.

NB: Kira-kira kapan ya luna maya, titi kamal atau sarah azhari terjun ke dunia politik???? Hehehe….

Tidak ada komentar: